Jumat, 01 Mei 2015

Pantas Mereka Takut.......

✔Pantas Mereka Takut...
๐Ÿ“Ditulis oleh Budi Ashari

⭕Anak-anak muda yang membahayakan. Para teroris hadir. Sel-sel baru bermunculan. Pengajian-pengajian sumbernya. Masjid pusatnya. Terutama masjid sekolah-sekolah dan kampus. Kumpulan mereka perlu diwaspadai dan diawasi.
⭕Lihatlah pola yang menggiring secara bertahap tapi pasti.Hasilnya sangat terlihat. Para orangtua banyak yang khawatir begitu melihat anaknya berubah menjadi baik. Seorang ibu ketakutan saat melihat anaknya liburan dari pesantrennya, karena melihat pakaian putrinya itu sangat rapi menutup aurat sesuai syariat Islam. “Apa anak saya sudah kerasukan pemikiran radikal?”
⭕Efek buruk dan jahat ini merasuki otak dan hati para orangtua tanpa disadari. Dan anehnya, para orangtua lebih nyaman melihat anaknya bergaul tanpa batas. Itulah yang dianggap wajar. Mereka senang melihat anaknya menghabiskan waktu untuk melamun, karena dianggapnya sedang puber. Aneh...
⭕Dan akhirnya para orangtua tanpa disadari memberi ‘wejangan’, “Hati-hati kalau ngaji di masjid.” Anak-anak muda yang rumit memilah jenis pengajian, akhirnya memutuskan untuk duduk-duduk di kafe, nongkrong di jalanan, bahkan tempat-tempat dosa. Dan mereka pun jauh dari masjid.
⭕Luar biasa bukan...rencana jahat menjauhkan generasi muda dari masjid. Karena mereka sadar, tapi kita tidak sadar. Mereka tahu, tapi kita tidak tahu. Mereka membaca sejarahnya, kita tidak. Bahwa kebangkitan Islam itu berawal dari kebangkitan anak-anak mudanya.
⭕Dengarkan penjelasan Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya saat menjelaskan tentang kata: Fityah (pemuda), dalam Surat Al Kahfi,
“...Untuk itulah kebanyakan yang menyambut (seruan) Allah dan Rasul Nya shallallahu alaihi wasallam adalah pemuda. Adapun orang-orang tua dari Quraisy, kebanyakan mereka tetap bertahan dalam agama mereka dan tidak masuk Islam kecuali sedikit saja.”
⭕Untuk lebih menjelaskan kalimat tersebut, mari kita baca tulisan DR. Mahmud Muhammad ‘Imaroh, Dosen Universitas Al Azhar Mesir. Beliau menuliskan data usia mereka yang masuk Islam di masa dakwah rahasia Nabi (sepanjang 3 tahun), dalam buku beliau Khawatir wa taammulat fis sirotin nabawiyyah, h. 125-129. Beliau mengambilnya dari dari Majalah Al Wa’yu Al Islamy, Edisi 77. Perlu diingat di awal, jika ada perbedaan tentang usia dalam buku-buku siroh adalah merupakan hal yang wajar. Di sini dinukilkan apa adanya dari buku tersebut:
1. Ali bin Abi Thalib 8 tahun
2. Zubair bin Awwam 8 tahun
3. Thalhah bin Ubaidillah 12 tahun
4. Arqam bin Abil Arqam 12 tahun
5. Abdullah bin Mas’ud Menjelang 15 tahun
6. Said bin Zaid Belum 20 tahun
7. Saad bin Abi Waqqash 17 tahun
8. Mas’ud bin Rabi’ah 17 tahun
9. Ja’far bin Abi Thalib 18 tahun
10. Shuhaib Ar Rumi belum 20 tahun
11. Zaid binHaritsah menjelang 20 tahun
12. Utsman bin Affan sekitar 20 tahun
13. Thulaib bin Umair sekitar 20 tahun
14. Khabbab bin Art sekitar 20 tahun
15. Amir bin Fuhairoh 23 tahun
16. Mush’ab bin Umair 24 tahun
17. Miqdad bin Aswad 24 tahun
18. Abdullah bin Jahsy 25 tahun
19. Umar bin Khattab 26 tahun
20. Abu Ubaidah bin Jarrah 27 tahun
21. Utbah bin Ghazwan 27 tahun
22. Abu Hudzaifah bin Utbah sekitar 30 tahun
23. Bilal bin Rabah sekitar 30 tahun
24. Khalid bin Said sekitar 30 tahun
25. Amr bin Said sekitar 30 tahun
26. Ayyasy bin Abi Rabi’ah sekitar 30 tahun
27. Amir bin Rabi’ah sekitar 30 tahun
28. Nu’aim bin Abdillah sekitar 30 tahun
29. Utsman bin Madz’un sekitar 30 tahun
30. Abdullah bin Madz’un 17 tahun
31. Qudama bin Madz’un 19 tahun
32. Saib bin Madz’un sekitar 10 tahun
33. Abu Salamah bin Abdul Asad sekitar 30 tahun
34. Abdurahman bin Auf sekitar 30 tahun
35. Ammar bin Yasir antara 30-40 tahun
36. Abu Bakar 37 tahun
37. Hamzah bin Abdul Muthalib 42 tahun
38. Ubaidah bin Harits 50 tahun
39. Amir bin Abi Waqqash masuk Islam setelah urutan orang ke-10
40. As Sail bin Utsman syahid di perang Yamamah (11 H) umurnya masih 30 tahun
Dan ini kalimat DR. Mahmud Muhammad ‘Imaroh,
⭕Walau Quraisy terus menerus melakukan teror dan intimidasi terhadap orang-orang lemah..tetapi anak-anak muda itu justru mengumumkan keislaman mereka, dengan konsekuensi yang sedang menanti mereka berupa kesulitan hidup...dan terkadang harus mati!
⭕Deretan angka-angka di atas menunjukkan kebenaran kalimat Ibnu Katsir bahwa kebesaran Islam ini lebih banyak ditopang oleh anak-anak muda.
⭕Sebenarnya, skenario menjauhkan cara pandang yang benar terhadap generasi muda bukan hanya dilakukan sekarang dengan pola seperti ini. Berbagai cara dan pola telah lama mereka laksanakan.Mereka menyusupkan dengan perlahan tapi pasti berbagai teori racun. Targetnya jelas: menjauhkan anak-anak muda dari kebaikan mereka dan masjid mereka.
⭕Seperti berbagai penelitian yang menyampaikan bahwa remaja adalah usia kerusakan, kegundahan, keguncangan, krisis, kenakalan. Pelajaran ini benar-benar tertanam pada orangtua. Sehingga, lagi-lagi mereka meyakini bahwa remaja harus melalui semua masalah itu. Jika ada anaknya yang baik-baik saja dan tidak melalui kekacauan itu, orangtua akan berkata, “Apa anak saya tidak normal ya?”
⭕Lihatlah sebuah skenario besar dalam rentang puluhan bahkan ratusan tahun. Dan mereka berhasil meracuni pemikiran para pendidik dan orangtua muslim.
Padahal pemuda begitu positif dalam bahasa ayat, hadits dan ulama. Sehingga perlu sebuah upaya besar untuk membalik cara pandang tersebut sekaligus memberi obat dari masalah yang dihadapi oleh para pemuda kita.
⭕Pemuda adalah kekuatan, inspirasi, kreatifitas, ledakan ruhiyah, ketegaran, kesegaran, enerjik, karya besar dan penopang peradaban Islam.
๐ŸŒ€ Pantas mereka takut ..
๐ŸŽฏ Ayoo rekrut, bina, berdayakan..

Ghirah seorang Muslim

Ghirah seorang Muslim
Mungkin banyak yang sudah melupakan buku Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam karya Buya Hamka. Buku itu memang tipis saja, nampak tidak sebanding dengan koleksi masif seperti Tafsir Al Azhar, namun tipisnya buku tidak identik dengan kurangnya isi, apalagi pendeknya visi. Sesuai judulnya, buku tersebut membahas masalah-masalah seputar ghirah dengan bercermin pada kasus-kasus yang terjadi di Indonesia. Meskipun buku ini diterbitkan pada awal tahun 1980-an, pada kenyataannya masih banyak pelajaran yang dapat kita ambil untuk dipraktekkan dalam kehidupan di masa kini.
Buya Hamka memulai uraiannya dengan sebuah kasus yang dijumpainya di Medan pada tahun 1938. Seorang pemuda ditangkap karena membunuh seorang pemuda lain yang telah berbuat tidak senonoh dengan saudara perempuannya. Sang pemuda pembunuh itu pun dihukum 15 tahun penjara. Akan tetapi, tidak sebagaimana narapidana pada umumnya, sang pemuda menerima hukuman dengan kepala tegak, bahkan penuh kebanggaan. Menurutnya, 15 tahun di penjara karena membela kehormatan keluarga jauh lebih mulia daripada hidup bebas 15 tahun dalam keadaan membiarakan saudara perempuannya berbuat hina dengan orang.
Dalam sejarah peradaban Indonesia, suku-suku lain pun memiliki semangat yang tidak kalah tingginya dalam menebus kehormatan. Menurut Hamka, bangsa-bangsa Barat sudah lama mengetahui sifat ini. Mereka telah berkali-kali dikejutkan dengan ringannya tangan orang Bugis untuk membunuh orang kalau kehormatannya disinggung. Demikian pula orang Madura, jika dipenjara karena membela kehormatan diri, setelah bebas dari penjara ia akan disambut oleh keluarganya, dibelikan pakaian baru dan sebagainya. Orang Melayu pun dikenal gagah perkasa kalau sampai harga dirinya disinggung. Bila malu telah ditebus, biasanya mereka akan menyerahkan diri pada polisi dan menerima hukuman yang dijatuhkan dengan baik.
Di masa lalu, anak-anak perempuan di ranah Minang betul-betul dijaga. Para pemuda biasa tidur di surau untuk menjaga kampung, salah satunya untuk menjaga agar anak-anak gadis tidak terjerumus dalam perbuatan atau pergaulan yang menodai kehormatan kampung. Pergaulan antara lelaki dan perempuan dibolehkan, namun ada batas-batas tegas yang jangan sampai dilanggar. Kalau ada minat, boleh disampaikan langsung kepada orang tua.
Di jaman Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. dulu pernah ada juga kejadian dahsyat yang berawal dari suatu peristiwa (yang mungkin dianggap) kecil saja. Seorang perempuan datang membawa perhiasannya ke seorang tukang sepuh Yahudi dari kalangan Bani Qainuqa’. Selagi tukang sepuh itu bekerja, ia duduk menunggu. Datanglah sekelompok orang Yahudi meminta perempuan itu membuka penutup mukanya, namun ia menolak. Tanpa sepengetahuanny a, si tukang sepuh diam-diam menyangkutkan pakaiannya, sehingga auratnya terbuka ketika ia berdiri. Jeritan sang Muslimah, yang dilatari oleh suara tawa orang-orang Yahudi tadi, terdengar oleh seorang pemuda Muslim. Sang pemuda dengan sigap membunuh si tukang sepuh, kemudian ia pun dibunuh oleh orang-orang Yahudi. Perbuatan yang mungkin pada awalnya dianggap sebagai candaan saja, dianggap sebagai sebuah insiden serius oleh kaum Muslimin. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. pun langsung memerintahkan pengepungan kepada Bani Qainuqa’ sampai mereka menyerah dan semuanya diusir dari kota Madinah.
Itulah ghirah, yang diterjemahkan oleh Buya Hamka sebagai “kecemburuan”.
Penjajahan kolonial di Indonesia membawa masuk pengaruh Barat dalam pergaulan muda-mudi bangsa Indonesia. Pergaulan lelaki dan perempuan menjadi semakin bebas, sejalan dengan masifnya serbuan film-film Barat. Batas aurat semakin berkurang, sedangkan kaum perempuan bebas bekerja di kantor-kantor. Demi karir, mereka rela diwajibkan berpakaian minim, sedangkan keluarganya pun merasa terhormat jika mereka punya karir, tidak peduli bagaimana caranya. Tidak ada lagi kecemburuan.
Tidak ada yang boleh marah melihat anak perempuannya digandeng pemuda yang entah dari mana datangnya. Suami harus lapang dada kalau istrinya pergi bekerja dengan standar berpakaian yang jauh dari syariat, karena itulah yang disebut “tuntutan pekerjaan”.
Sesungguhnya ghirah itu merupakan bagian dari ajaran agama. Pemuda Muslim yang membela saudarinya dari gangguan orang-orang Yahudi Bani Qainuqa’ menjawab jerit tangisnya karena adanya ikatan aqidah yang begitu kuat. Menghina seorang Muslimah sama dengan merendahkan umat Islam secara keseluruhan.
Ghirah adalah konsekuensi iman itu sendiri. Orang yang beriman akan tersinggung jika agamanya dihina, bahkan agamanya itu akan didahulukan daripada keselamatan dirinya sendiri. Bangsa-bangsa penjajah pun telah mengerti tabiat umat Islam yang semacam ini. Perlahan-lahan, dikulitinyalah ghirah umat. Jika rasa cemburunya sudah lenyap, sirnalah perlawanannya.
Buya Hamka mengkritik keras umat Muslim yang memuji-muji Mahatma Gandhi tanpa pengetahuan yang memadai. Gandhi memang dikenal luas sebagai tokoh perdamaian yang menganjurkan sikap saling menghormati di antara umat beragama, bahkan ia pernah mengatakan bahwa semua agama dihormati sebagaimana agamanya sendiri. Pada kenyataannya, Gandhi berkali-kali membujuk orang-orang dekatnya yang telah beralih kepada agama Islam agar kembali memeluk agama Hindu. Kalau tidak dituruti keinginannya, Gandhi rela mogok makan. Itulah sikap sejatinya, yang begitu cemburu pada Islam, sehingga tidak menginginkan Islam bangkit, apalagi memperoleh kemerdekaan dengan berdirinya negara Pakistan.
Dua dasawarsa lebih berlalu dari wafatnya Hamka, nyatalah bahwa hilangnya ghirah adalah salah satu masalah terbesar yang menggerogoti umat Islam di Indonesia. Sekarang, orang tua pun rela menyokong habis-habisan anak perempuannya untuk menjadi mangsa dunia hiburan. Para ibu mendampingi putri-putrinya mendaftarkan diri di kontes-kontes model dan kecantikan, yang sebenarnya hanya nama samaran dari kontes mengobral aurat.
Kalau kepada putri sendiri sudah lenyap kepeduliannya, kepada agamanya pun begitu. Makanan fast food dikejar karena prestise, tak peduli keuntungannya melayang ke Israel untuk dibelikan sebutir peluru yang akhirnya bersarang di kepala seorang bayi di Palestina. Kalau dulu seluruh kekuatan militer umat Islam dikerahkan untuk mengepung Bani Qainuqa’ hanya karena satu Muslimah dihina oleh tukang sepuh, maka kini jutaan perempuan Muslimah diperkosa, jutaan kepala bayi diremukkan dan jutaan pemuda dibunuh, namun tak ada satu angkatan bersenjata pun yang datang menolong.
Luar biasa generasi anak-cucu Buya Hamka, karena mereka telah benar-benar mati rasa dengan agamanya sendiri. Ketika anak-anak muda dibombardir dengan pornografi, maka umatlah yang dipaksa diam dengan alasan kebebasan berekspresi. Tari-tarian erotis digelar sampai ke kampung-kampung yang penduduknya tak punya cukup nasi di dapurnya, hingga yang terpikir oleh mereka hanya jalan-jalan yang serba pintas. Ramai orang mengaku nabi, sementara para pemuka masyarakat justru menyuruh umat Islam untuk berlapang dada saja. Padahal yang mengaku-ngaku nabi ini ajarannya tidak jauh berbeda: syariat direndahkan, kewajiban-kewaj iban dihapuskan, para pengikut disuruh mengumpulkan uang tanpa peduli caranya, orang lain dikafirkan, bahkan para pengikutnya yang perempuan disuruh memberikann kehormatannya pada sang nabi palsu. Atas nama Hak Asasi Manusia, umat disuruh rela berbagi nama Islam dengan para pemuja syahwat.
Atas nama toleransi, dulu umat Islam digugat karena penjelasan untuk Surah Al-Ikhlash dalam buku pelajaran agama Islam dianggap melecehkan doktrin trinitas. Kini, atas nama pluralisme, umat Islam dipaksa untuk mengakui bahwa semua agama itu sama-sama baik, sama-sama benar, dan semua bisa masuk surga melalui agamanya masing-masing. Maka pantaslah bagi kita untuk merenungkan kembali pesan Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar ketika menjelaskan makna dari ayat ke-9 dalam Surah Al-Mumtahanah:
...orang yang mengaku dirinya seorang Islam tetapi dia berkata; “Bagi saya segala agama itu adalah sama saja, karena sama-sama baik tujuannya.” Orang yang berkata begini nyatalah bahwa tidak ada agama yang mengisi hatinya. Kalau dia mengatakan dirinya Islam, maka perkataannya itu tidak sesuai dengan kenyataannya. Karena bagi orang Islam sejati, agama yang sebenarnya itu hanya Islam.
"Kecemburuan adalah konsekuensi logis dari cinta. Tak ada cemburu, mustahil ada cinta."
Dan apabila Ghirah telah tak ada lagi, ucapkanlah takbir empat kali ke dalam tubuh ummat Islam itu. Kocongkan kain kafannya lalu masukkan ke dalam keranda dan hantarkan ke kuburan. (Buya Hamka)
Wassalaamu'alai kum warohmatullohi wabarokaatuh
“Wahai yang bersemangat lemah, sesungguhnya jalan ini padanya Nuh menjadi tua, Yahya dibunuh, Zakariya digergaji, Ibrahim dilemparkan ke api yang membara, dan Muhammad disiksa, dan engkau menginginkan Islam yang mudah, yang mendatangi kedua kakimu?” ~ Ib[truncated by WhatsApp]

Bila Benar Aku Mencintaimu


๐Ÿ“ Artikel Tematik
๐Ÿ’— Bila Benar Aku Mencintaimu ....
๐Ÿ’—
Dalam sebuah majelis, Syekh Nashiruddin Al-Albani rahimahuLLah, pernah ditanya: "Syekh, apakah seseorang yang mencintai karena ALLah, wajib mengatakan kepada orang yang dicintainya: "Aku mencintaimu karena ALLah?"
Syekh Albani menjawab: "Iya. Akan tetapi cinta karena ALLah memiliki harga yang sangat tinggi, sedikit sekali yang mampu membayarnya. Apakah kalian mengetahui berapa harga cinta karena ALLah? Siapa yang mengetahui, silakan menjawab."
Mulailah para hadirin memberikan jawaban.
Seseorang menjawab: "RasuluLLah shallaLLahu 'alaYhi wa sallam bersabda: "7 golongan yang ALLah menaunginya dengan naungan-Nya pada hari tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, salah satunya dua orang yang saling mencintai karena ALLah, bersatu karena ALLah dan berpisah karena-Nya."
Syekh berkata : "Ini adalah perkataan yang benar pada tempatnya, tapi bukan jawaban dari pertanyaanku. Ini adalah sebagian pengertian cinta karena ALLah. Adapun pertanyaanku, apakah harga yang harus dibayar oleh dua orang yang saling mencintai karena ALLah, yang satu kepada yang lain? Bukan apakah balasan akhiratnya? Maksudku, aku ingin menanyakan: Apakah bukti perbuatan bila seseorang mencintai karena ALLah? Karena kadang-kadang, dua orang saling mencintai, tetapi cintanya hanya tampak di luar, tidak benar-benar hakiki. Maka, apakah bukti cinta yang hakiki?"
Seseorang yang hadir menjawab lagi: "Seseorang mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya." 
Syekh Albani berkata: "Ini adalah sifat cinta atau salah satu sifat cinta."
Seseorang menjawab lagi: "Firman ALLah Ta'ala:
 (ู‚ُู„ْ ุฅِู†ْ ูƒُู†ْุชُู…ْ ุชُุญِุจُّูˆู†َ ุงู„ู„َّู‡َ ูَุงุชَّุจِุนُูˆู†ِูŠ ูŠُุญْุจِุจْูƒُู…ُ ุงู„ู„َّู‡ُ)
"(Artinya) Katakanlah: apabila kalian mencintai ALLah maka ikutilah aku, maka ALLah akan mencintai kalian." (QS. Ali Imran: 31)
Syekh menjawab: "Ini adalah jawaban yang benar untuk pertanyaan yang lain."
Hadirin yang lain mencoba menjawab: "Tiga hal, yang apabila terdapat pada diri seseorang ia akan merasakan kelezatan iman, salah satunya orang yang mencintai karena ALLah."
Syeikh menjawab: "Itu adalah buah dari cinta karena ALLah, yaitu kelezatan iman dalam hati seseorang."
Seseorang menimpali lagi: "Firman ALLah Taala:
(ِูˆَุงู„ْุนَุตْุฑِ * ุฅِู†َّ ุงู„ْุฅِู†ْุณَุงู†َ ู„َูِูŠ ุฎُุณْุฑٍ * ุฅِู„َّุง ุงู„َّุฐِูŠู†َ ุขู…َู†ُูˆุง ูˆَุนَู…ِู„ُูˆุง ุงู„ุตَّุงู„ِุญَุงุชِ ูˆَุชَูˆَุงุตَูˆْุง ุจِุงู„ْุญَู‚ِّ ูˆَุชَูˆَุงุตَูˆْุง ุจِุงู„ุตَّุจْุฑِ)
"(Artinya) Demi Masa. Sesungguhnya manusia dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholih, dan saling berwasiat dalam kebenaran dan saling berwasiat dalam kesabaran." (QS. Al-Ashr: 1-3)
Kali ini syekh menjawab: "Ahsanta. Benar, inilah jawabannya."
Saudaraku, mari kita renungkan perkara yang agung ini. Harga sebuah cinta karena ALLah. Siapa di antara kita yang tidak mencintai orang lain? Tentu tidak ada. Setidaknya, kita pasti mencintai pasangan kita, atau anak-anak kita, atau orang tua kita, atau saudara kita. Maka apakah bukti cinta kita pada mereka?
Ternyata buktinya adalah kita menasehatinya kepada kebenaran. Terkadang mudah bagi kita memberikan segala sesuatu yang kita cintai baik berupa harta, waktu, maupun perhatian untuk orang yang kita cintai. Akan tetapi, ketika kita melihatnya melakukan kesalahan, kita diam saja, dengan alasan segan, karena dia memiliki ilmu yang lebih dari kita, atau karena takut ia menjadi marah, takut ia memutuskan hubungan, atau takut ia menjauh, dan sebagainya. Kita merasa takut kehilangannya dengan membiarkannya terjatuh pada kesalahan. Ah, ternyata bukanlah itu bukti cinta yang hakiki.
Mari kita perhatikan perkataan Syeikh selanjutnya..
"Maka, apabila benar aku mencintaimu karena ALLah, selayaknya aku memberimu nasihat, demikian juga engkau menerima nasehatku dan memberiku nasehat. Cinta karena ALLah memiliki harga yang sangat mahal. Cinta karena ALLah adalah bagian dari keikhlasan, yaitu mengikhlaskan segalanya untuk kebaikan orang yang kita cintai, dengan memberikan nasehat. Dengan senantiasa menyuruh kepada kebajikan dan mencegah dari kemungkaran.. selalu dan selamanya."
✒ Ustadzah Liz Ummu Sholih
Di Kota Madinah

Ulbah bin Zaid

Kisah Mengharukan, Ulbah bin Zaid sang Faqir yang Dermawan
Ulbah bin Zaid adalah salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam dan dia adalah salah satu potret kedermawanan si faqir. Bagaimana si faqir dermawan? Ini adalah hal yang luar biasa. Biasanya kedermawanan berasal dari yang kaya. Ulbah bin Zaid si faqir yang sangat dermawan.
Ketika itu musim paceklik sedang melanda kota Madinah. Ekonomi kaum muslimin sedang sulit. Musim panas sedang berada di puncak. Angin musim itu juga membawa hawa panas. Debu-debu beterbangan mengotori atap-atap dan halaman rumah penduduk kota Madinah. Kulit serasa diiris, mata perih seperti diteteskan air cuka pada luka. Bagi penduduk Madinah musim panas seperti itu biasanya mereka lebih memilih untuk istirahat di rumah atau tinggal di kebun mereka sambil memetik kurma muda yang memang lagi ranum-ranumnya. Karena pohon kurma berbuah pada musim panas.
Tahun itu bertepatan dengan Tahun kesembilan Hijrah, satu bulan menjelang Ramadhan. Bagi sahabat Rasulullah perkembangan politik Islam di Madinah sangat luar biasa karena dampak dari pengiriman surat-surat Rasulullah kepada semua Raja yang dikenal oleh bangsa Arab yang menambah panas keadaan baginya. Karena kalangan sahabat sudah tersebar berita akan persiapan bala tentara Romawi sebagai negara yang terbesar saat itu. Sebagai tindak lanjut dari Perang Mut’ah yang sangat terkenal itu, Romawi tidak puas dengan hasil yang mereka diperoleh pada peperangan tersebut apalagi dia adalah peperangan Arab melawan Romawi yaitu yang kita kenal dengan Perang Tabuk. Di sinilah kisah Ulbah bin Zaid. Dia diselipkan oleh sejarah di dalam sejarah perang Tabuk. Peperangan bagi orang Arab pertama kali melawan Romawi.
Kali ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam mengabarkan kepada para sahabat tentang tujuan dan rencana untuk melaksanakan peperangan di daerah Tabuk, sebuah daerah yang sangat jauh bagi bangsa Arab pada saat itu. Mendengar adanya seruan jihad ini maka kaum muslimin berbondong-bondong datang memenuhi kota Madinah dari seluruh pelosok negeri. Bagaimana pula mereka tidak berjihad di jalan Allah sedangkan Gerbang Syurga yang seluas langit dan bumi akan dibukakan untuknya. Rasulullah mengajak para dermawan untuk menginfakkan harta mereka guna bekal bagi pasukan yang akan berangkat menuju medan perang. Peristiwa ini dikenal dengan Jaisyul ‘Usroh.
Ulbah bin Zaid adalah dari suku Anshor dari kabilah Aus, adalah seorang yang fakir dan tidak memiliki harta benda untuk diinfakkan guna mendukung pasukan yang akan pergi berperang. Ia hanya dapat menyaksikan kesibukan kaum muslimin dalam mempersiapkan kelengkapan perang. Semua orang telah melengkapi dirinya dengan perlengkapan perang seperti baju besi, pedang, panah, tombak, unta, kuda dan lain lain. Ia menyaksikan semua itu dengan kesedihan yang mendalam, karena ia tidak memiliki uang sepeserpun untuk membeli peralatan perang tersebut.
Pagi itu, setelah sholat subuh, ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda : “Barang siapa yang mempersiapkan Jaisyul ‘Usroh, untuknya surga”. Panas dingin rasa badannya mendengar sabda Nabi itu, apalagi dalam peperangan ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam tidak menerima mujahid kecuali mereka yang memiliki kendaraan dan kelengkapan perang.
Ulbah juga melihat ketika Rasulullah duduk di Kota Madinah di Masjid Nabawi. Ulbah meliha Rasulullah duduk dikelilingi para sahabat. Tiba-tiba Abu Bakar datang sambil membawa uang sebanyak 4000 dirham, lalu beliau serahkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam guna keperluan perang. Melihat uang sebanyak itu maka Rasulullah bertanya kepada Abu Bakar : “Apa yang engkau sisakan kepada keluargamu?” Abu Bakar menjawab : “Aku tinggalkan Allah beserta RasulNya”. Untuk itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam berkata: “Tidak ada harta yang bermanfaat bagiku seperti harta Abu Bakar.” Umar datang dengan membawa setengah hartanya. Usman membawa 1000 dinar dan menyerahkannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam. Lalu Beliau mengaduk aduknya seraya berkata : “Tidak ada yang membahayakan Usman dengan apa yang dia perbuat setelah ini.” Abdurrahman bin auf membawa 200 uqiyah perak, dan disusul oleh para sahabat yang lain masing masing dengan membawa hartanya.
Para sahabat yang bukan dari golongan berada juga datang berinfak dengan apa yang mereka miliki. Ashim bin Adi membawa 90 wasaq dari kurma kebunnya, sebagian lagi ada yang membawa dua mud bahkan ada yang hanya satu mud (sebanyak dua telapak tangan orang dewasa). Semua kaum muslimin datang berinfak, kecuali para munafiqin.
Melihat hal itu, pulanglah Ulbah dengan membawa kesedihannya. Sampai larut malam ia tidak bisa tidur memikirkan dirinya yang tidak dapat berinfak dan membeli peralatan perang seperti para sahabat lakukan. Dia hanya mebolak-balikkan badannya di atas tikarnya yang lusuh. Selintas timbul dalam fikirannya untuk mengurangi kegundahan hati. Maka ia pun berwudhu lalu melaksanakan sholat. Kemudian ia pun menangis, menumpahkan semua kesedihannya kepada Dzat yang memiliki isi langit dan bumi. Lalu ia berdoa sambil mengangkat kedua tangannya: “ Ya Allah, Engkau memerintahkan berjihad, sedangkan Engkau tidak memberikan aku sesuatu yang dapat aku bawa berjihad bersama RasulMu, dan Engkau tidak memberikan di tangan RasulMu sesuatu yang dapat membawaku berangkat. Maka saksikanlah bahwa sesungguhnya aku telah bersedekah kepada setiap muslim dari semua perbuatan zholim mereka terhadap diriku dari perkara harta, raga atau kehormatan.”
Doa itu ia ucapkan berulang ulang kali seakan akan ia berkata : “Ya Allah, tidak ada yang dapat aku infakkan sebagaimana yang lainnya telah berinfak. Seandainya aku memiliki seperti yang mereka punya, aku akan lakukan untukMu, demi jihad di jalanMu. Yang aku punya hanya kehormatan, kalau Engkau bisa menerimanya, maka saksikanlah bahwa semua kehormatanku telah aku sedekahkan malam ini untukMu!”.
Subhanallah, alangkah jernihnya doa tersebut keluar dari seseorang yang tidak punya; sebuah kedermawanan dari mereka yang disebut papa.
Pagi harinya, ia mengikuti sholat subuh berjamaah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam. Telah ia lupakan air mata yang telah tertumpah di atas sajadah tadi malam. Tetapi Allah tidak menyia-nyiakannya, Dia khabarkan semua cerita tsb kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam melalui perantaraan Jibril.
Selesai sholat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda: “Siapa yang tadi malam telah bersedekah? Hendaklah ia berdiri.”
Tidak ada seorangpun dari para sahabat yang berdiri, dan Ulbah pun tidak merasa bahwa ia telah bersedekah.
Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam mendekatinya dan berkata: “Bergembiralah Ulbah. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tanganNya, sesungguhnya sedekahmu tadi malam telah ditetapkan sebagai sedekah yang diterima.”
Alangkah bahagianya Ulbah, doa yang ia panjatkan tadi malam sebenarnya adalah upaya dan usaha dari orang miskin yang tidak punya harta. Kiranya Allah mendengar rintihan dan jeritannya.
Semoga Allah merahmati Ulbah bin Zaid, dengannya kita belajar bahwa tidak selamanya memberi harus dengan materi. Disini kita dapat pelajaran bahwa dengan keterbatasan yang Allah berikan kita juga dapat berbuat untuk Islam. Ulbah bin Zaid bisa berbuat dan didengar oleh Allah, maka berbuatlah untuk Islam. Jadikanlah Ulbah bin Zaid ini Uswah (teladan). Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam banyak riwayat mengatakan: “ Tasbih adalah sedekah, senyum adalah sedekah, hingga suapan makanan ke mulut istri adalah sedekah, bahkan berhubungan badan dengan istri agar menjaga kehormatannya adalah sedekah.”
Permasalahannya apakah sedekah-sedekah yang seluas dan sebanyak itu diterima oleh-Nya?
Sudahkah kita niatkan semua pekerjaan kita untuk sedekah?
Sudahkah kita usahakan ikhlas dalamnya?
Jawabannya tentu ada pada diri kita masing-masing.
Sumber: Ceramah Ust. Armen Halim Naro.